Friday, January 6, 2012

Belajar dari Kaus Yunani, Pengelolaan Utang Harus Transparan. Utang RI Rp 1.900-T

Manajemen APBN I Emisi SBN Baru Langsung Bebani APBN
Pengelolaan Utang Harus Transparan

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih transparan dalam membeberkan pengelolaan utang agar tidak terkesan menutup-nutupi beban utang yang sebenarnya harus ditanggung rakyat. Pengalaman krisis utang Yunani mengajarkan bahwa tidak adanya transparansi pengelolaan utang negara bisa menjadi bom waktu pecahnya krisis di negara itu.

Setelah mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang rencana pembelian kembali atau buyback surat berharga negara (SBN) menggunakan sisa anggaran lebih atau SAL, di awal tahun ini pemerintah juga mengungkapkan agenda mencari utang baru lewat penerbitan SBN sekitar 125 triliun rupiah. Jumlah utang baru yang nilainya lebih besar dari kewajiban pembayaran utang itu mempertegas kebijakan gali lubang tutup lubang.

Akibatnya, jumlah utang semakin lama bukannya berkurang, tetapi terus membengkak, yakni menjadi 1.816 triliun rupiah pada November 2011 atau bertambah 140 triliun rupiah sejak Desember 2010 yang sebesar 1.676,85 triliun rupiah.

"Manajemen utang pemerintah sudah amburadul karena membuat utang dengan harapan ada sisa 'uang makan' untuk bayar utang. Bahkan, terkesan Kementerian Keuangan menghambat pencairan (disbursement) anggaran agar anggaran yang tidak dicairkan itu dipakai untuk membeli kembali SUN," kata Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Donatus Kladius Marut di Jakarta, Kamis (5/1).

Minimnya transparansi pengelolaan utang juga tecermin dari tidak terperincinya pos-pos beserta alokasi pembayaran bunga utang obligasi yang sebenarnya termasuk juga untuk menutup utang swasta dari obligasi eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sebelumnya, Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto membantah akan menggunakan SAL untuk membeli kembali SBN. Dia menjelaskan penggunaan dana SAL harus melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam UU APBN, termasuk meminta persetujuan DPR.

Menurut Donatus, kalau SAL dipakai untuk membeli kembali obligasi negara, itu menunjukkan manajemen utang Indonesia kurang sistematis. "Menjual surat utang tetapi tidak punya cara untuk menjamin buyback-nya, aneh. Kalau sudah berani menerbitkan SUN, harus berani pula membangun kesejahteraan rakyat, jangan kemudian mengganjalnya dengan utang lagi," jelas dia.

Donatus pun tidak setuju jika SAL dipakai untuk membayar beban obligasi negara, termasuk surat utang eks BLBI. "Itu namanya manajemen utang kita itu masih gaya tukang becak, kerja hari ini untuk bayar utang kemarin. Dan, rakyat terus dipaksa membayar utang swasta yang kini oknumnya jauh lebih makmur."

Makin Berat
Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Revrisond Baswir, mengatakan rencana pemerintah menerbitkan global bond pada awal tahun, sekitar Februari-Maret 2012, bakal makin memberatkan utang negara. Selain itu, pemerintah hanya menyampaikan perspektif yang terbatas dan tidak memberikan gambaran keseluruhan dari kebijakan tersebut.

"Global bond sebagai bagian dari instrumen pencarian dana bakal langsung membebani kemampuan keuangan negara. Pemerintah sudah seharusnya mewaspadai konsekuensi penerbitan varian surat utang itu."

Dia juga menepis alasan pemerintah demi memanfaatkan momentum membaiknya peringkat utang menjadi investment grade dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings. Lembaga itu menaikkan rating dari BB ke BBB- akhir tahun lalu. "Membaiknya peringkat seharusnya tidak serta-merta dimanfaatkan untuk menambah pintu masuk bagi utang baru," tegas dia.

Menurut Revrisond, pemerintah sebaiknya memperbaiki kinerja, terutama membabat habis praktik korupsi yang secara langsung memperburuk iklim usaha di Tanah Air. Sejatinya, Fitch juga mencatat sejumlah kelemahan dari Indonesia, antara lain masih maraknya praktik korupsi, rendahnya pendapatan per kapita, dan terbatasnya infrastruktur.

Revrisond juga menengarai pemerintah selalu mengedepankan perspektif keuangan atau finansial dalam menggulirkan rencana penerbitan global bond ini. Akibatnya, masyarakat tidak mendapat gambaran dari dampak kebijakan itu.

Pemerintah selalu berdalih bahwa rasio produk domestik bruto (PDB) terhadap utang RI masih rendah. Namun, tidak pernah ada penjelasan yang gamblang bahwa pertumbuhan PDB Indonesia tidak berkualitas karena lebih banyak ditopang oleh konsumsi dan mengandalkan ekspor produk primer yang harganya tengah menguat.

Selain itu, penurunan rasio utang tidak berarti terjadi peningkatan posisi keuangan pemerintah. Hal itu disebabkan adanya kemungkinan penjualan perusahaan negara, penipisan sumber-sumber kepemilikan publik, dan penurunan modal tetap pemerintah. Kemungkinan lain yang perlu diwaspadai adalah mencari utang baru, terutama yang di luar anggaran, untuk menutup utang lama dengan jumlah yang sama
http://koran-jakarta.com/index.php/d...iew01/80124/hl


Utang Indonesia Sudah Rp 1.900 Triliun, Pemerintah Diminta Stop Biayai Pembangunan dari Utang
Jum'at, 5 Agu 2011

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- LSM Koalisi Anti Utang (KAU) mendesak agar pemerintah tidak lagi mengandalkan dana yang berasal dari utang luar negeri sebagai salah satu sumber untuk membiayai pembangunan di dalam negeri.

"Semakin besar kita mengandalkan utang maka akan semakin besar bahaya yang bisa berdampak pada ekonomi nasional," kata Ketua LSM Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan di Jakarta, Jumat. Menurut dia, isu utang seharusnya saat ini menjadi "debat panas" di dalam DPR karena banyak hal yang harus diperhatikan terkait hal itu.

Ia mencontohkan, hal penting yang harus dicermati terkait dengan utang adalah sejauh mana jumlah cicilan pokok dan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar utang tersebut. Dani juga mengingatkan bahwa Indonesia juga harus belajar dari kekisruhan dalam penentuan pagu utang AS yang sempat menjadi perdebatan hangat baik di dalam tubuh pemerintah AS maupun kongres negara itu.

"Di AS terlihat isu utang menjadi krusial tetapi di Indonesia isu utang masih belum menjadi debat politik yang panas," katanya. Sebelumnya, Kepala Biro Humas Bank Indonesia Didi A Johansyah juga menilai, total utang luar negeri Indonesia baik pemerintah maupun swasta yang terus meningkat hingga kwartal I tahun ini patut terus dicermati.

"Meski ekonomi kita stabil dan fundamental ekonomi bagus, tetapi utang luar negeri harus terus dicermati dengan mengingatkan pelaku bisnis untuk mengelola utang luar negerinya secara berhati-hati," kata Didi di Jakarta akhir Juni lalu.

Jumlah utang luar negeri Indonesia sampai kwartal I 2011 mencapai 214,5 miliar dolar AS, meningkat 10 miliar dolar AS dibanding posisi akhir 2010. Jumlah tersebut terdiri atas utang Pemerintah sebesar 128,6 miliar dolar AS dan utang swasta 85,9 miliar dolar AS.

Sedangkan rasio utang dibanding PDB saat ini 28,2 persen lebih baik dibanding 1997/1998 sebesar 151,2 persen. Sementara rasio utang jangka pendek dibanding cadangan devisa saat ini 42,6 persen lebih baik dibanding posisi 1997/1998 sebesar 142,7 persen.
http://id.berita.yahoo.com/utang-ind...042139850.html

---------------

Seharusnya fungsi pengawasan itu ada di DPR ... masalahnya, pihak DPR-nya juga pada meble ... dan banyak yang lemah iman ketika di sodori angpao untuk meng-acc dan meloloskan saja komitmen utang pemerintah dengan pihak asing dan dalam negeri, termasuk mencetak SUN itu, meskipun disiitu dtemukan ada yang tidak beres dalam pengelolaannya kelak .

kemejabolong 06 Jan, 2012

Admin 06 Jan, 2012


-
Source: http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/01/belajar-dari-kaus-yunani-pengelolaan.html
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

No comments:

Post a Comment